Kamis, 26 Agustus 2010

PENTINGNYA HUTAN MANGROVE BAGI KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

Mangrove dan ekosistem sekitarnya telah lama mengalami kerusakan dan degradasi. Mangrove tidak mendapat perhatian khusus. Keacuhan dan keserakan kita telah menyebabkan kerusakan lebih dari setengah bagian dari hutan mangrove. Hal ini menyebabkan berkurangnya produksi ikan, meningkatkan erosi wilayah pesisir dan berkurangnya pendapatan masyarakat lokal serta menurunya kualitas air di wilayah sekitarnya. Walaupun di beberapa tempat di Indonesia (Sumatera, Jawa dan Sulawesi Selatan) dilakukan eksploitasi secara berlebihan, Indonesia masih memiliki hutan mangrove terbesar di dunia. Entah berapa lama hutan mangrove dapat mendukung kehidupan masyarakat sekitar menjadi tanda tanya karena sampai saat ini hutan-hutan tersebut terus di ekspolitasi untuk mendapatkan ke untungan jangka pendek. Dalam menyongsong abad 21 bahwa masa depan hutan mangrove kita berada di tangan kita sendiri. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan mangrove secara tak terkendali di masa lalu. Akan tetapi, dua penyebab utamanya adalah karena ketidaktahuan kita tentang arti dan peran penting mangrove bagi kehidupan, termasuk manusia, dan kurangnya penguasaan kita tentang teknik pengolaan mangrove yang ramah lingkungan. Dan konservasi hutan mangrove secara seimbang dan lestari, akan sangat bermanfaat bagi mereka yang peduli dan terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove.
Kawasan pulau Tarakan, memiliki wilayah daratan seluas ± 250,80 km² dan luas lautan ± 406,33 km², hutan mangrove seluas 22 hektare. Wilayah Indonesia hanya mencakup 1,3% permukaan bumi, tetapi di dalamnya terkandung salah satu keaneka ragaman hayati yang paling tinggi di dunia dari semua tumbuhan berbunga, 12 dari jenis mamalia 60% dari jenis reptilian dan amfibi, 17 dari jenis burung dan jenis ikan air tawar dan air laut. Kekayaan hayati yang sangat tinggi ini bukan hanya merupakan bagian warisan alam yang kita miliki, tetapi menyediakan sistem pendukung kehidupan, berbagai barang dan jasa yang berasal dari lingkungan, yang menjadi andalan kesehatan, penghidupan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, kira-kira 40 juta orang (hampir seperempat) jumlah penduduk Indonesia bergantung pada keragaman hayati untuk mempertahankan kehidupanya melalui pengambilan hasil dari perikanan wilayah pesisir.Perlindungan dan pemanfaatan hutan mangrove secara bijaksana mengharuskan kita untuk memahami pentingnya hutan mangrove di kota Tarakan. Pada tahun 2001 pemerintah kota Tarakan mengambil langkah-langkah nyata untuk konservasi dan pelestarian ekosistem hutan mangrove di pulau Tarakan. Surat Keputusan Walikota dan Peraturan Daerah untuk konservasi dan pegawasan mangrove diterbitkan, yaitu Keputusan Walikota Tarakan No. 591/HK-V/257/2001 tentang Pemanfaatan Hutan Mangrove Kota Tarakan yang ditujukan untuk kawasan hutan mangrove. merupakan perwujudan nyata dari upaya pengelolaan sumberdaya pesisir dan kepulauan khususnya hutan mangrove secara berkelanjutan, dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Pentingnya pengelolaan sumberdaya tersebut tampak dari hasil penelitian/ekspedisi yang menunjukkan bahwa pada Hutan mangrove yang terkelola dapat dilihat hasil yang memuaskan. Nilai ini dapat dipertahankan secara berkelanjutan bila sumberdaya ini dikelola dengan baik. Akan ada kemungkinan besar hutan mangrove kota Tarakan bisa dijadikan ekowisata mangrove di Indonesia khususnya Kalimantan. Dan sebaliknya apabila dibiarkan rusak, hasilnya bisa berdampak pada bidang ekonomi masyarakat, utamanya nelayan yang mata pencaharian mereka hanya mengandalkan hasil tangkapan laut.Pelaksanaan kegiatan yang diprogramkan LEMBAGA ADVOKASI KONSERVASI FLORA DAN FAUNA (AKFF) sangat penting karena merupakan isu dunia yakni global warming. Yang kita rasakan sekarang ini adanya perubahan iklim di kota Tarakan yang sangat tidak menentu diakibatkan perambahan hutan secara besar-besaran yang tidak pernah melihat akan dampak ke depan yang akan terjadi seperti pemanasan global dan perubahan iklim yang sekarang ini. Masyarakat yang hidupnya bergantung pada sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya. Pengelolaan sumberdaya alam tidak hanya terkait dengan tata cara pemanfaatan, tetapi juga oleh hal-hal lain yang mempengaruhi tata cara pemanfaatan tersebut, dimana kesemuanya itu melibatkan berbagai kepentingan pada jenjang yang berbeda (Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa), antara lain pengambil kebijakan, perguruan tinggi, NGO, pelaku usaha perikanan, asosiasi nelayan, penegak hukum. Dengan begitu, kehadiran AKFF kepentingan secara bersama-sama dengan mengetahui peran dan fungsinya dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam akan mempermudah terlaksananya sebuah model pengelolaan yang responsif, berorientasi pada pemanfaatan berkelanjutan dan mendorong proses penyejahteraan masyarakat. Lokasi pertama ekspedisi titik awal tanggal 8 Juni 2009, dimulai dari daerah Mamburungan dan berakhir di daerah Pantai Amal Lama. Hari kedua pada tanggal 9 Juni 2009 titik awal dimulai dari Pelabuhan Tengkayu II menuju Juata Laut dan kembali ke tempat yang sama. Hari ketiga tanggal 10 Juni 2009, titik awal dimulai dari Juata Laut menuju ke Pantai Amal Baru dan berakhir di daerah Pantai Amal Baru. Tanggal 11 Juni 2009, tim ekspedisi menuju hutan mangrove di daerah Boom Panjang. Ekspedisi hutan mangrove yang dilaksana AKFF berakhir pada tanggal 12 Juni 2009.Kondisi wilayah kota Tarakan umumnya merupakan daratan rendah, dimana variasi ketinggiian tanah antara 0-110 m diatas permukaan air laut. Bagian terendah berada di daerah sepanjang pantai sedangkan bagian tertinggi berada di sekitar perbukitan yang tersebar di beberapa kecamatan. Terbesar berada di kecamatan Tarakan Tengah dan Tarakan Barat. Tarakan dibentuk sesuai dengan Kepres RI No. 22 Tahun 1963 sebagai wilayah Kecamatan, kemudian berubah menjadi Kota Administratif sesuai dengan PP No. 47 Tahun 1981 dan kemudian ditingkatkan menjadi Kotamadya berdasarkan UU RI No. 29 Tahun 1997, yang peresmiannya dilakukan pada tanggal 15 Desember 1997, sekaligus diperingati sebagai hari jadi Kota Tarakan. Kondisi lingkungan kota Tarakan, untuk kegiatan perkebunan pada umumnya berada di beberapa wilayah di perbukitan dataran rendah. Perkebunan yang potensi dan berkembang. Usaha perkebunan ini sudah mulai berkembang banyak dan banyak investor mulai datang dari negara jiran, karena keterbatasan lahan di negara jiran tersebut. Untuk terus dikembangkan secara ekonomis dengan memanfaatkan lahan yang sesuai. Namun sekarang ini pengembangan perkebunan juga mengancam kawasan perbukitan dataran tinggi, namun di duga areal yang sebenarnya kurang cocok untuk perkebunan hanya sebagai dalih untuk melakukan eksploitasi kayu. Sumberdaya alam yang memiliki kontribusi yang cukup besar dalam perekonomian kota Tarakan adalah komoditi perikanan dan komoditi minyak bumi dan gas alam dengan sumbangan nilai tambah sebesar 8% dan 7% terhadap PDRB Kota Tarakan Tahun 2001. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Kota Tarakan selama 5 tahun terakhir (1997-2001) sebesar 5,2%, kecuali tahun 1998 mengalami pertumbuhan negatif sebesar 2,2%. Pertumbuhan ekonomi Kota Tarakan sangat dipengaruhi oleh sektor-sektor yang dominan yaitu sektor perdagangan, perikanan dan pertambangan.Seiring dengan meningkatnya aktivitas eksploitasi minyak bumi di Pulau Tarakan tersebut, maka mulailah berdatangan penduduk dari daerah sekitarnya dan dari luar daerah baik itu sebagai tenaga kerja yang dibawa oleh Belanda maupun mereka mengadu nasib karena terpikat untuk mencari rezeki.
Tarakan dibentuk sesuai dengan Kepres RI No. 22 Tahun 1963 sebagai wilayah Kecamatan, kemudian berubah menjadi Kota Administratif sesuai dengan PP No. 47 Tahun 1981 dan kemudian ditingkatkan menjadi Kotamadya berdasarkan UU RI No. 29 Tahun 1997 yang peresmiannya dilakukan pada tanggal 15 Desember 1997, sekaligus sebagai hari jadi Kota Tarakan. Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotic) dan komponen nir-hayati (abiotik) mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan meningkatkan mutu kehidupan. Semua kegiatan diatas disebut kondisi awal ”baseline data.” Informasi yang diperlukan untuk membuat kesepakatan wilayah yang akan dikelola, serta cara pengelolaannya. Setelah ditetapkan cara pengelolaan Hutan bakau Berbasis Masyarakat disepakati adanya pola pemantauan lebih lanjut. Untuk mangrove dan padang lamun, sedangkan dalam wilayah daerah konservasi mangrove, perlu diketahui bahwa kerusakan mangrove yang terjadi di beberapa tempat memerlukan waktu yang cukup lama apabila tidak dilakukan penanganan lebih lanjut (penanaman). Untuk percepatan pertumbuhan mangrove bervariasi, pengelolaan tetap diperlukan minimal 3-6 bulan sekali agar keuntungan nyata dapat dirasakan oleh nelayan.
Pemantauan dapat dilakukan dengan cara pengamatan pertumbuhan mangrove setiap 1 bulan sekali para instansi terkait serta Lambaga Swadaya Masyarakat dalam hal ini NGO, agar tetap mengikuti aturan bersama. Apabila pengelolaan hanya sebatas konsep saja dan program instansi Dishutamben tidak akan mencapai sasaran yang diinginkan Dishutamben Kota Tarakan. Dinamisme dan komitmen dari Dishutamben adalah kunci kesuksesan program, Sebagai instansi teknis terkait yang akan mendukung terciptanya program perubahan iklim dan lingkungan hidup, kebutuhan dan minat dari para nelayan terhadap pengelolaan hutan mangrove. Pada tahap awal akan membantu staf lapangan Dishutamben Kota Tarakan untuk mendapatkan informasi terkini dan akurat. Serta berkelanjutan berdasarkan hasil rapat AKFF di Dishutamben mengenai kelanjutan program hutan mangrove di Kota Tarakan. Pengelolaan hutan mangrove yang berkesinambungan merupakan salah satu tujuan kerja sama antara pemerintah dan lembaga-lembaga lingkungan di Indonesia.Pertanggung jawaban untuk mengelola hutan mangrove semakin terus kita tingkatkan demi anak cucu kita di masa depan, karena alam dan lingkungan hanyalah titipan dari Sang Maha Kuasa untuk terus dijaga kelestariannya demi umat manusia di muka bumi ini
Harapan Lembaga Advokasi Konservasi Flora dan Fauna (AKFF) kedepan akan terjalin koordinasi erat dan perencanaan bersama untuk mendukung penghijauan, penanaman kembali maupun penetapan wilayah-wilayah dan zonasi hutan bakau di kota Tarakan, Propinsi Kalimantan Timur. Kegiatan penghijauan yang dilakukan terhadap hutan-hutan yang telah gundul, merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan saja untuk mengembalikan nilai ekstetika namun yang paling utama adalah untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut. Kegiatan seperti ini menjadi salah satu andalan rehabilitasi di beberapa kawasan hutan mangrove yang telah ditebang dan dialihfungsikan kepada kegiatan lain. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove telah dirintis dikawasan pesisir kota Tarakan Kalimantan Timur Indonesia






Bento AKFF